Detik.com, 21 Oktober 2015
Jakarta – Satu tahun mungkin bukan rentang waktu yang adil untuk menjatuhkan vonis sukses-gagal pemerintahan Jokowi. Namun, setahun lebih dari cukup untuk menduga berapa besar harapan akan terpenuhi dan berapa banyak janji akan tertunaikan. Tidaklah berlebihan rasanya untuk mengatakan euforia dan optimisme yang mengiringi pelantikan Jokowi setahun lalu mulai redup dan berganti dengan rasa cemas. Rasa cemas yang tumbuh karena pelemahan ekonomi nasional.
Penghujung satu tahun Jokowi penuh dengan data ekonomi yang kurang menggembirakan. Badan Pusat Statistik menyatakan ekonomi Indonesia saat ini hanya tumbuh sekitar 4,6%, terendah dalam lima tahun terakhir. Tingkat pengangguran terbuka naik 300 ribu orang. Nilai inflasi Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Serapan anggaran belanja pemerintah rendah. Dan daya beli masyarakat yang melemah. Kini tidak sedikit orang yang bertanya, “Apakah mungkin akan terjadi degradasi ‘middle class‘?
Lihat saja beberapa fakta sederhana. Volume penjualan motor dan mobil pada bulan Januari-Maret 2015 anjlok 19% dan 14%. Dan pertama kali dalam sejarah, konsumsi rokok turun 12,5%. Tren penurunan yang tidak pernah terjadi ketika krisis ekonomi beberapa kali menerpa Indonesia.
Lingkaran Setan Adu Kuat politik
Benar memang, pelemahan ekonomi global turut punya andil dalam pelemahan ekonomi Indonesia. Namun, belum padunya kabinet kerja dan reinkarnasi rivalitas politik pasca pilpres jelas tidak akan mempermudah langkah perbaikan ekonomi. Secara de facto, selain berusaha menjalankan roda pemerintahan, Jokowi mengalami pertarungan perimbangan kekuatan politik (political balance of power) di dua front sekaligus. Secara eksternal berhadapan dengan partai oposisi dan secara internal berhadapan dengan rongrongan partai pendukung yang datang silih berganti.
Adu kuat dengan oposisi adalah alamiah. Secara filosofis kehadiran oposisi justru menyehatkan demokrasi, sebab kehadirannya akan memaksa pemerintah senantiasa mengambil keputusan yang terbaik akibat mekanisme check and balances yang berjalan. Tapi, saling sikut secara internal tidak pernah menguntungkan. Satu tahun perjalanan pemerintahan menyiratkan, bahkan Jokowi selaku pucuk pimpinan eksekutif masih harus berjuang keras memperebutkan hegemoni atas jalannya roda pemerintahan yang secara de jure merupakan hak-nya.
Mulai dari adu gertak antara tokoh partai pengusung Jokowi versus tokoh tim transisi dalam penentuan anggota kabinet. Gerutu partai pengusung utama Jokowi yang merasa jatah menterinya tidak sesuai dengan besarnya size partai. Teguran terbuka Megawati agar Jokowi mengingat jati dirinya sebagai petugas partai. Drama politik seputar pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Perang pernyataan yang berujung pada reshuffle kabinet bulan Agustus lalu. Dan perkembangan terkini, kehebohan seputar berita penetapan politisi Rio Patrice Capella sebagai tersangka oleh KPK, yang kini justru bergulir menjadi bola liar isu reshuffle jilid dua.
Rentetan peristiwa di atas adalah sekelumit bukti yang menunjukkan bahwa Jokowi masih terjebak dalam belitan adu perimbangan kekuatan politik partai pendukung. Bila tidak segera diputus, bukan mustahil adu kuat perimbangan politik yang terjadi antar sesama partai pemerintah, akan menjadi siklus yang berlangsung tiada henti. Sebuah lingkaran setan ‘political balance of power‘ yang akan terus menghantui Jokowi hingga 2019. Bagaimana mungkin Jokowi sempat membangun, bila tahun demi tahun hanya dihiasi dengan usaha konsolidasi politik tanpa henti.
Selengkapnya bisa dibaca di https://news.detik.com/kolom/3049378/setahun-jokowi-saatnya-bentuk-parpol-pro-jokowi